rangkaian_kisah

Friday, May 21, 2004

Buku Harian Mimin

Aku membenci malam seperti aku membenci ibu, aku membenci malam seperti aku membenci diriku, tapi malam ini aku mencintai ibu seperti aku mencintai kebebasanku.
Rumahsetan, 13 januari 2004

***
Hari yang membosankan, seperti tak ada kata-kata lain yang dapat mengisi kepalaku, laki-laki basi datang dan pergi memasang gergaji di kemaluanku, mulut sudah jadi tawar dari keinginan untuk memiliki diri sendiri, pikiran begitu sibuk oleh gincu, bedak, lulur dan minyak wangi, mengapa semua ini mesti ditumpahkan padaku, sedang badan tak punya tempat buat angan-angan? Hasrat yang lelah untuk berbagi dari diri yang asing, dan aku demikian rindu pelukan ibu…oh ibu, kenapa kau berhenti jadi ibuku? Kenapa?.
Pikiranku mendengung oleh bunyi televisi yang membeku dan kemarahanku gemetar mengusir mimpi dan harapan seperti pompa air yang mengalir lewat pipa-pipa yang kosong, menyumbat hidung, menyumbat tenggorokan, menyumbat dada, menyumbat perut, menyumbat kemaluan, menyumbat wastafel dan jamban juga. Sudah habis tangisku dari hari pertama ibu menjual permataku kepada laki-laki yang bukan kekasih hatiku. Batin jadi begini rapuh ingin menyakiti diri sendiri, dan mulut pun makin kering, tawar oleh hasrat hidup yang padam. Hanya angan-angan yang melayang sepi sendiri kemana saja asal bukan rumah, rumah yang penuh bau mayat, rumah orang-orang mati, tapi biar hasrat ini tandas aku akan tetap tegak berdiri sampai dendam ini terbalas.
Rumahsetan, 7 Januari 2004

***
Kubaca tangisku selebar majalah misteri yang sudah lama basi, memberiku sejenis bacaan perintang waktu sambil menunggu kedalaman masa demikian beku. Apalah nikmatnya menunggu laki-laki yang itu-itu juga? Mereka tak peduli dengan hatiku, mereka cuma peduli tubuhku dan aku juga tak peduli siapa mereka, aku cuma butuh uang buat menyumbat mulut-mulut zombie yang rakus di rumah setan ini.
Sesungguhnya aku telah terpedaya oleh tipu muslihat ini, setiap menghadapi wajah-wajah beku para lelaki brengsek yang menciumi tubuhku aku telah jadi orang lain. Setiap kali harus kupasang topeng kepalsuan di wajah resahku, dan menjalani siksaan demi siksaan sebagai sebuah rutinitas yang membelenggu diri. Detik-detik menjelma lonceng yang akan menguburku hidup-hidup. Aku cuma bisa menumpahkan perih dan pedihku pada lubang closet yang menganga. Betapa ingin kuhajar wajah-wajah beku itu dan kutikam jantung ibuku dengan kata-kata paling mesum, tapi apalah artinya kata-kata kalau hatiku meradang oleh gigitan benci.
Rumahsetan, 8 Januari 2004

***
Malam ini telah kutetapkan hati, sekali pun jiwaku tercekik oleh perasaan was-was. Setan telah mencengkeram leherku seperti hantu kematianku sendiri, aku sudah menandatangani perjanjian dengannya yang tak dapat kucabut kembali. Di bawah bayang-bayang malam aku berjalan seperti terbawa mimpi, tonggak-tonggak batu di atas tangga menuju kamar ibu telah jadi sekumpulan gergasi yang menyemangati diriku. Kebebasan! Saat ini adalah penemuan kembali arti kekecewaan, dia yang selalu menyebutku babi! anjing! atau sampah tak berguna! Benih-benih kemarahan telah tumbuh lebat di kepalaku menjelma sulur-sulur liar yang tajam melibas, menyadap semua api dendam yang memenuhi relung-relung kebencian.
Rumah setan ini telah jadi kuburan yang resah, angin khianat menggigit gelisah menusuk-nusuk kepalaku serasa mau pecah. Aku sudah muak dengan rumah ini, juga dengan kongkalikong busuk yang membuatku terikat dengan rumah setan ini, dan hantu-hantu kian merajalela, dengar saja nyaring tawanya, meleleh nafsunya, dan luar biasa menyebalkan tingkah polahnya, aku sudah muak! aku sudah muak! tapi mengapa tanganku menggigil begitu hebat?
Rumahsetan 12 Januari 2004

***
Bebas! teriakan garang melewati kamar ibu yang berkarat dan bau amis darah yang menodai tangan dan gaunku, sekali lagi bebas! Aku tak peduli erangan hantu-hantu menyerbu telingaku, memenuhi lantai atas dengan dengus kelojotan malam yang tengah sekarat dan dua pasang mata bapak yang rapuh, penuh tanda tanya dan kengerian. Mengapa masih ada yang belum tidur di malam selarut ini, bangsat sialan!
Persetan dengan mata bapak yang menggigil bisu di depan pintu dan asap dari api neraka yang membuat kepalaku nanar, aku sudah terlanjur menikam malam dengan pisau dendam yang paling tajam dan aku tak pernah menyesal, karena aku sudah merdeka! Biar aku terbahak, terbahak sekencang-kencangnya. Aku belum pernah tertawa sepuas ini, karena semua orang tak berhak lagi mengungkung kebebasanku, tidak juga bapak! dan para lelaki bajingan itu!
Setiap tetes darah yang kureguk dari jantung ibu, adalah tetes air susu yang tak pernah kureguk, mata yang garang menetak kepala, wajah, dada, payudara, dan kemaluanku. Bilur-bilur penat yang tak pernah menyuruhku berhenti kerja melayani segala macam laki-laki. Bahkan saat malam sekarat, masih saja ia malas menerjemahkan gelap dan di setiap erang kematiannya kunikmati orgasme erangan semua laki-laki dalam setiap tetesan duri-duri yang ia tumpahkan ke dalam rahimku.
Aku membenci malam seperti aku membenci ibu, aku membenci malam seperti aku menbenci diriku, tapi malam ini aku mencintai ibu seperti aku mencintai kebebasanku.
Rumahsetan, 13 januari 2004

***
Bapak bukan siapa-siapa, selama perih pedih hidupku ia tak pernah menerakan jejaknya di lembaran catatanku, ia tak pernah menunjukkan dirinya sebagai apa atau siapa, ia tak lebih kecoa yang lari setiap mata garang ibu mendelik, dan ia tak lebih dari parasit yang cuma bisa kerja kalau disuruh. Dan setiapkali ibu melecut punggungku atau menampar mukaku ia hanya diam terpaku di pojok kamar dengan wajahnya yang membatu, atau paling jauh ia akan pergi ke dapur, dan entah apa yang dilakukannya di sana.
Tapi semalam entah apa yang dipikirkannya, ia menuntunku ke kamar mandi dan mengguyurku dengan berpuluh-puluh gayung air setelah melucuti gaun penuh noda darah yang aku kenakan dan membakarnya di belakang rumah. Dan pagi ini aku terpaksa sekali lagi harus mencatat namanya sebagai bapakku, sebelum polisi datang ia pergi menyerahkan diri sambil membawa bungkusan parang sebagai bukti. Aku cuma meraba-raba apa yang sedang ia pikirkan, karena sebelum berangkat ia hanya mengucapkan sepatah kata bahwa ia akan menanggung semua dosa-dosaku. Tak ada kata perpisahan keluar dari bibirnya, entahlah aku tak tahu apakah aku harus berterimakasih atau justru harus membencinya.
Rumahsetan, 14 Januari 2004

***
Apa yang aku lihat di jendela? Apakah Ibu sudah menjelma setan? Waktu menjelaga di bingkai kaca, malam buta membuat gerimis, ada mata merah yang marah di beranda menangisi sepotong jari kelingkingnya yang hilang… dan aku cuma bisa tertawa, karena telah kumiliki kembali tanda mata paling permata cincin mirah kekasihku, seluruh hasil jerih payahku.
Rumahsetan, 15 Januari 2004

***
Entah mengapa aku tiba-tiba mengingat bapak yang menangis lagi setelah lama tak kuhampiri, mungkin ia sedang menangis juga sekarang dalam kurungan penjara, seperti ingin mengubur ibu buat kedua kali. Aku jadi naik pitam, seharusnya aku yang jadi lelaki di rumah ini dan bukan bapak. lelaki impoten! lelaki paling pengecut yang pernah kukenal. Biar tahu rasa dia membusuk dalam penjara.
Rumahsetan, 16 Januari 2004

***
Tanggal 17 Januari 2004, polisi menemukan sepotong jari dan sebuah cincin yang bebercak noda darah kering, terbungkus sebuah sapu tangan warna merah dan sebuah buku harian bersampul kulit warna hitam dalam lemari di kamar Mimin. Hari itu juga di bawah tatap mata para tetangganya di kompleks pelacuran, Mimin di bawa petugas ke markas polisi untuk menjalani pemeriksaan.
Seseorang dalam kerumunan orang ramai masih sempat berkata pada teman di sebelahnya, “Dasar pelacur, masih juga tega membunuh ibu sendiri!”

Jakarta 8 April 2004





Perahu Kertas

Aku menyusuri tepi jalan menuju rumah kostku, beberapa kali kendaraan mewah melintas tak mengacuhkan rembulan sungsang di puncak malam. Di depan persimpangan masuk ke dalam gang yang sempit dan becek kudengar suara desah yang menghuni warung-warung kumuh dan orang-orang yang sibuk berlalu lalang berebut mengisi piring dan gelasnya dengan semacam kepuasan semu lalu mereka menyantapnya seperti anjing yang kelaparan. Aku tak tahu apa yang mereka cari selain harapan dalam setumpuk kartu ceki yang mereka banting di meja sejak sore gerimis Ada juga yang menenggak arak kezaliman dan mengosongkannya sampai tandas bersama bangku-bangku reyot yang mabuk darah
Dari tembok-tembok berlumut sepanjang gang itu masih kudengar suara desah barangkali erangan seorang perempuan entah nikmat entah kesakitan dan di depan persimpangan gang terakhir menuju rumah kost tempat aku tinggal aku melihat Ratri berdiri dengan gaya menantang, tangannya melambai pada seorang laki-laki yang tengah melintas, “Hei, apakah kau punya duit, ayolah nggak mahal kok?” serunya sebasah gerimis ditelingaku
Aku menghentikan langkahku untuk menatap wajahnya yang terlihat samar di bawah temaram lampu pinggiran jalan. Ratri, gadis itu tetangga yang tinggal di sebelah kamar kostku berwajah manis menawan dengan bibir merah maroon, tubuhnya yang sintal melenggok gemulai menonjolkan gerak buah dadanya yang penuh dalam balutan tanktop warna merah muda, dan ia tak malu mengakui dirinya lebih cantik dari rembulan di langit kelam. Gigi putih itu kembali tertawa pada laki-laki yang melintas dan sejenak berhenti “He ayolah, kau pasti punya duit kan?” tanyanya lagi, “Kau tentu tahu, aku lebih mengenal lelaki dari siapa pun!” serunya dan kemudian ia mengerling sekilas sambil menarik tangan lelaki itu, “Boleh di kamarmu, atau di mana saja juga boleh…” dan ia tertawa renyah, tak memberi sedikitpun kesempatan pada laki-laki itu untuk menawar. Lelaki setengah baya itu menurutkan langkah Ratri seperti seekor kerbau dicucuk hidung seolah telah dipenuhi hasrat untuk melumat bibirnya yang kemerah-merahan.
Aku tahu gerak pinggulnya begitu menggelitik, goyang dada itu begitu menggoda sehingga hasrat siapa pun pasti akan segera menjadi lumer oleh manis senyumnya dan wajahnya yang putih tersipu sekilas berlagak seperti anak gadis baru kemarin sore yang telah lama dipingit, sebuah sikap yang pasti akan meruntuhkan hati setiap lelaki. Lelaki sepertiku juga, sekali pun aku tahu pasti bahwa Ratri tengah mengenakan topeng yang sama sekali berbeda dari kesehariannya. Tak semua orang tahu bahwa dibalik renyah tawanya sesungguhnya ia tak pernah merengkuh kebahagiaan, setidaknya itu yang bisa aku baca dari kehidupannya sehari-hari, dan orang yang mengenal Ratri pasti akan mengenali pula nada kegetiran itu dalam suaranya yang sumbang.
Kudengar kembali suara Ratri yang tertawa cekikikan, “Ya..ya, aku mendengar kau, aku mendengar kau bernyanyi seperti sajak.” Begitu lagaknya merayu calon mangsanya, dan lelaki mana yang tidak melambung oleh gaya tertawanya yang merangsang.
Dalam kenyataan siang hari Ratri bukanlah gadis seronok yang senang menggoyangkan pinggulnya mengikuti iringan irama musik dangdut dari radio penjaja rokok di sudut jalan, tapi bagaimanapun harus kuakui bahwa dompet siapa pun akan bergetar setiap kali ia mengerling, dan pada setiap laki-laki ia akan berkata malu-malu “Aku seorang perempuan tulen! Hei…serius jangan tertawa!” katanya, dan wajahnya akan tampak semakin cantik saat pura-pura mendelik marah.
Dan para lelaki yang telah terpukau oleh jerat yang ditebarkannya akan turut tertawa seperti ringkik kuda, berebut menghirup nafasnya, menghirup kerlingnya, harum rambutnya, tubuhnya juga. Dan dari kejauhan aku berdiam diri memandangnya dengan memendam sepotong rasa nyeri yang lindap ke dalam dadaku sampai kemudian kulihat ia berlalu bersama sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti di persimpangan jalan. Ratri pergi bersama seseorang entah siapa, dan berlalulah pula sepotong bibir indah berwarna merah maroon dari hadapanku, meninggalkan sepotong kesedihan menggenang dalam sudut hatiku.
Masih ada bayangan Ratri dalam hirup nafasku, juga dadanya yang padat, juga pinggulnya yang penuh, kerling matanya dan bibirnya yang kemerah-merahan tertawa, demikian renyah demikian merdu berlagu di telingaku, “Hei aku seorang perempuan tulen!”
Entah mengapa aku jadi disergap melankoli, sebuah rasa simpati untuk gadis itu, karena aku tahu dibalik senyumnya ada kepedihan yang harus ia kunyah setiap malam dan tak mungkin tersapu oleh gerimis yang tiba-tiba turun. Barangkali ia pun berpikir betapa mudahnya menangkap seekor kumbang dan menyimpannya di balik kutangnya yang ketat dan terus saja berpura-pura bahagia. Dan telingaku jadi berdenging, seolah masih kudengar gaung renyah tawanya, sekali pun sesungguhnya aku tahu tawa itu demikian sumbang, sesumbang kepedihan yang harus ia jalani setiap kali menghitung rupiah demi rupiah dari sisa kondom di tempat sampah.
***
Baru saja kubayangkan Ratri menggumuli aibnya sendiri pada gumpalan sejarah peradaban paling purba, dan anganku begitu liar menggelitik resahku di atas tikar lusuh di dalam kamar kostku yang pengap, dan di setiap desah nafas terbayang tubuh Ratri seperti tak sanggup berhenti, gelisah menggapai hasrat meraih sisa-sisa kenikmatan yang segera terlupa dari ingatan. Nafas laki-laki di sampingnya bau arak meresap pada tubuh telanjangnya yang bersimbah peluh dan degup darah pesta pora melupakan luka-luka dan duka yang mengucur di setiap gelas menumpahkan bayang kemabukan. Adakah ia sadari hatiku jadi begitu kosong, begitu kering lupa pada sepotong hati semurni tawa kanak-kanak yang termangu di balik pintu berusaha keras terjaga mencoba menangkap kembali setiap detak waktu yang berlalu dari jam dinding yang sudah lama mati.
Apakah ia tahu aku telah lama menunggu, di belakang pintu dan menyeru-nyeru namanya dalam hatiku, tapi bagaimana caraku agar ia mau berpaling? apakah telah hilang jiwanya dalam genggaman tangan iblis? Ya...sang iblis sendiri! yang mencengkeram lehernya dengan kuku-kuku yang kotor sambil menjilat-jilat luka hatinya yang membusuk di 7 liang.
Dunia di luar sekilas memang tampak masih gemerlap dengan hingar bingar musik pembuat lupa dan aku tahu ia akan menelan semua harga dirinya bersama pil-pil laknat itu, bahkan mungkin ia tak peduli iblis suntikkan racun ke dalam jantungnya…sekian lamanya ia berhenti berdegup. Tidakkah ia tahu aku lama berdiri di situ di belakang pintu sambil menyeru-nyerukan namanya tapi telinganya membatu oleh riuhnya musik pembuat lupa, aku begitu tenggelam dalam ketidakberdayaan, bungkah-bungkah hasrat dalam rabun mataku. aku tahu ia telah teperdaya dan aku lihat sendiri bagaimana neraka mencuri benaknya, merajam jantungnya, meremukkan tubuhnya. Iblis telah menyedot habis kebeliaannya, kegadisannya, dan harga dirinya sampai tandas! tapi oh apa dayaku? Aku cuma seorang laki-laki pengecut, mahasiswa pengangguran yang jatuh cinta pada seorang pelacur…oh Ratri apakah kita memang ditakdirkan berakhir seperti ini!
Tidakkah ia sadari jelaga telah mengotori dirinya dengan warna malam, apakah arti hidup kalau hati jadi begitu kosong dan tanpa daya? ingin rasanya kuseret Ratri pergi dari tempat kemunafikan ini, tapi apa bedanya ia dengan diriku? sedang aku pun menghasratkan dirinya hanya untuk diriku sendiri. Aku ingin terlepas dari belenggu perasaan ini, mengeringkan darahku sendiri dan mengisinya kembali dengan darah bayi yang masih murni. Cintaku pada Ratri telah membuatku hilang akal.
Apakah demikian pula yang Ratri rasakan, aku sering mendengar orang berseru-seru di telingaku tapi tak kutemui satu jasad pun di luar sana, dunia yang kejam tak berperasaan, dan aku merasa begitu kesepian! Oh Ratri tidakkah kau jijik pada para lelaki yang berkubang dalam kemaluanmu mereka toh tak lebih berharga dari dirimu, yang mereka kerjakan hanyalah mengisi dirimu dengan semacam roh kemunafikan menyihirmu dengan kenikmatan anggur dan nasib yang tiada berkepastian, dan engkau makin jauh tersesat sendirian lupa jalan pulang ke rumah! Oh Ratri justru oleh jelagamu aku menjadi begitu kosong dan tanpa daya menanti hari-hari yang akan remukkan kepalaku dengan pecahan genting dan batu-bata
Setiap kali aku pulang ke rumah kost duniaku serasa merapuh, runtuh perlahan jadi serpihan puing-puing mimpi, angan dan tubuh yang bukan lagi milikku. Aku tak lebih dari tanah gersang yang rindukan hujan, segenggam pasir kering yang hasratkan cinta atas seorang penjaja cinta. Hidup tak ubahnya dedaunan yang berlepasan dari tangkainya terbawa angin musim, kehendak yang ingin lepas dari waktu yang membelenggu. Demi sekeping doa di ujung bibirku, aku ingin bebas dari perasaan cintaku pada gadis itu, lepas dari kungkungan jiwa yang papa, bayangan hidup Ratri yang begitu getir, hasratnya menyakiti diri sendiri, dan keangkuhanku yang tak hentinya memperkosa nuraniku sendiri. Dan aku cuma bisa menangis, merutuki kebodohan diri sendiri sebagai bocah cengeng yang menangisi cinta tak sampai dan di luar sana Ratri berjuang sendiri saja…oh Ratri bahkan aku tak lebih mulia darimu.
Kalau aku coba renungkan bahwa cuma kejalangannya yang bersisa, tapi cuma itulah satu-satunya tali nafas yang membuatnya mampu menyambung hidup sekalipun dalam lumpur yang semakin dalam membelit. Bagaimana aku harus melepaskan dirinya dari belenggu dosa-dosa itu sedang aku tak sanggup memungkiri lecutan rasa pedih di hati? Haruskah aku biarkan perasaan cinta ini menghantui diriku selamanya? Tidak, oh demi Tuhan…aku tahu Ratri tak butuh dimengerti! Aku tahu Tuhan pun mungkin tak peduli pada penderitaannya. Telah begitu lama ia resapi sendiri dera rasa sakit itu, dan ia tampak semakin tak peduli, seolah tiada satu pun yang membuatnya malu sekalipun semua orang memaki dirinya sundal! sundal yang hidup dalam kebohongan, Nymphomaniac yang sombong mengangkangi hidup dengan mengais-ngais sisa harkat di tengah reruntuhan puing-puing mimpi.
Ia terima semua tikaman pisau itu dengan sebuah senyuman, seolah ia menyadari dirinya cuma seorang wanita dengan jiwa terbelah, dan apalah arti sebuah senyum dari bibirnya? Seperti setiap kali kutangkap pedih senyumnya tak ubahnya senyum mayat yang beku, karena sesungguhnya jiwanya telah lama mati merana tanpa mengenal makna cinta, dan aku membenci diriku sendiri karena tak sanggup mengulurkan tanganku untuk menolongnya. Oh Ratri, aku begitu pedih oleh ketidakberdayaan!
Aku pernah bertanya pada diriku sendiri pilihan apa yang ia punya dengan semua celaan dan hinaan yang harus ia tanggungkan, tanda yang sudah terlanjur melekat di dada…menoreh begitu dalam. Lalu kepedihan itu… seperti perahu kertas yang rapuh dan perlahan-lahan tenggelam. Betapa sulitnya menggantungkan harapan pada seutas benang keimanan dan selaput tipis kehormatan. Tapi tak tahukah engkau Ratri bahwa aku mencintaimu? Bukan cinta sembarang lelaki yang hanya menghasratkan tubuhmu. Tak tahukah engkau bahwa setiap malam aku harus menahan kepedihan siksa batin membayangkan kehormatanmu dilucuti dan tubuhmu digerayangi puluhan laki-laki. Aku terombang-ambing antara cinta dan kebencian. Bukannya aku tak punya keberanian atau tak cukup uang untuk mendapatkan dirimu, tapi bukan itu yang aku inginkan aku inginkan dirimu sebagai seorang wanita yang utuh, tapi batinku terus saja bergelut antara cinta dan kebencian antara hasrat memiliki dan perasaan benci atas profesi yang engkau geluti.
Gejolak perasaan yang berkecamuk dalam diriku membuatku tertidur dalam bayangan mimpi buruk sampai kemudian pukul 23.35 Ratri mengetuk pintu kamarku dan menyerahkan sebungkus bakmi hangat ke dalam tanganku sebelum ia kembali ke kamarnya sendiri dengan seorang laki-laki yang tak pernah kukenal sebelumnya, dan dengan perasaan marah segera kubuang bungkusan itu ke dalam bak sampah, semata-mata karena aku tak ingin menelan harapan, sekalipun hatiku menggigil oleh bau bakmi yang wangi dan ususku berteriak oleh sergapan rasa lapar yang tiba-tiba menyentak.
Dan Ratri masih saja menyimpan kejalangannya dibalik kutang dan celana dalam warna-warni yang sengaja digantungnya pada tali jemuran di depan kamar kami, seolah mengejek kerapuhan hatiku yang menghasratkan tubuh sintalnya namun hasrat itu tak pernah sekalipun terlontar dari mulutku. Namun deraan nafsu sungguh serupa iblis yang teramat keji, menyelipkan desah di seluruh permukaan dinding triplek yang menyekat kamar kami, menyiksa batinku demikian hebat dalam deraan malam sepi pada saat-saat membekukan jantung, tulang-tulangku jadi begitu ngilu juga kuping dan hatiku yang lapar membeku dalam gairah yang tak kunjung sampai. Dalam gelora siksa demikian dahsyat aku beranjak ke luar kamar menuju kamar mandi di belakang rumah. Pada malam-malam buta itu kuguyur seluruh tubuhku dengan air dingin dan kutelan sekilo sabun di kamar mandi yang lembab berlumut sampai aku tak sanggup berdiri lagi.

April 2004

Mimpi

Aku berlari dalam derai hujan mengejar bunga-bunga impian yang gugur dalam tidurku, aku menjelma padang ilalang, aku menjelma bukit kapur dan karang-karang terjal, aku menjelma hutan tanpa pepohonan, aku menjelma telaga kering dan laut tanpa sungai. Kakiku pedih oleh tangisan lumpur yang melecut-lecut hati berkerak. Sekawanan burung gagak terbang di langit menorehkan paruh mereka pada wajah matahari, berdarah-darah ia penuh luka dan ratapnya menggapai-gapai angin. Aku berlari kepada angin dan menjelma jadi seorang bocah yang berdiri di puncak menara kepedihan, menangisi luka-luka matahari yang pedih menetes-netes membasahi tanganku dengan warna darah. Dari dalam diriku terdengar lagu sendu menyanyikan rintihan padang ilalang, tangisan bukit kapur dan jeritan hutan yang alpa pepohonan. Matahari terus mengucur darah oleh tajamnya cakaran burung gagak membasahi gaun mimpi, melukis hari dengan pedihnya luka-luka. Dan aku berdiri di sana, buta meraba-raba tanpa daya dalam gelapnya mimpi tanpa matahari, hingga seluruh hasrat diri mendorongku untuk meronta dan menjerit…
“Bangun… Miyako, ayo bangunlah” bisik Odori lembut di telinga Miyako. Miyako mendesah perlahan dan membuka matanya yang terasa sangat berat.
“Ah Odori, untung kau membangunkan aku, aku mimpi buruk sekali, tapi…oahhhem…aku masih mengantuk” Miyako membalik bantalnya dan memutar badannya membelakangi Odori lalu menekuk badannya menghadap ke dinding, ia kembali bergelung di pojok sambil memeluk gulingnya.
“Ah dasar kau monyet pemalas” seru Odori sambil tertawa, tapi dibiarkannya Miyako bergelung kembali di atas pembaringannya yang empuk.

***
Mata ibu membuat hujan gerimis dalam hatiku, sendu oleh cadar kabut. Pohon angsana, kuning warna bunganya membunyikan hujan, begitu dalam getarannya seperti mimpi yang menjadi nyata, begitu dalam getarannya membawaku pergi.
Aku berjalan ke dalam hutan, kakiku basah rerumputan, wajahku basah dedaunan, sendu oleh cadar kabut, bergetar-getar dalam nadiku. Kudengar iring-iringan musik di sana, bunyi celempung dan rebana bergaung bercelung-celung dalam bayang titik-titik air. Sosok tanpa wajah berjalan seperti mimpi membawa desah kematian; rumput-rumput rebah, pohon-pohon tumbang, daun-daun luruh ke tanah basah oleh merahnya darah dan ketakutan merajam hatiku buyarkan lamunan pasir kerikil dan tajamnya perdu yang pedih di kaki. Aku berlari, berlari seperti mimpi, seperti mimpi rindukan mata ibu yang membuat hujan gerimis dalam hatiku. Aku terus berlari, berlari sampai teduh mata ibu membawaku kembali pulang. Di depan gerbang rumah ibu aku mengetuk…
“Ayolah Miyako, matahari sudah setinggi galah dan kau masih saja bermalas-malasan” teriak Odori dari ruang makan, tapi mata Miyako masih terpejam, dan kelopak matanya sesekali bergerak-gerak mengikuti irama mimpinya.

***
Aku berdiri di ujung pelangi menatap bunga-bunga cahaya, batin putih tergetar oleh pendar warna sungguh eloknya, janji kebebasan, kekuatan hasrat, ekspresi mimpi, terbang bersama butiran embun menyentuh langit, busur cahaya melampaui gunung paling tinggi menembus samudra raya. Terbang bebas, bebas bersama butiran embun dan hamparan rumput di ujung kaki begitu permainya, bunga cahaya kilau berkilau sungguh indahnya. Membuat hatiku tersenyum membiarkan diri terbalut cahaya dan kebajikan tumbuh bersemi dalam jiwaku yang putih. Dan kabut putih mengambang, melayang memenuhi udara, memenuhi langit, menyelimuti tubuhku dan membawaku pergi membuka gerbang-gerbang nirwana…
“Hmmm…anak itu sungguh keterlaluan, sudah jam segini masih juga tidur, sungguh mengherankan, tidak biasanya ia jadi begini malas!” Odori membatin ”Apa ia mau tidur saja seharian?” ditengoknya Miyako yang masih bergelung di atas tempat tidurnya. Wajah anak itu terlihat begitu tenang seperti permukaan danau yang senyap. Dan entah mengapa batin Odori tergetar melihat ketenangan wajah Miyako, tak sampai hatinya mengusik ketenangan wajah itu, wajah yang sedikit pucat, namun Miyako tampak demikian cantik dalam lelap tidurnya, dan seolah wajah itu memancarkan aura cahaya yang menyimpan seribu misteri.

***
Aku seperti baru terjaga, dan buru-buru kubuka pintu kamarku, tapi tak kutemui Odori, hanya ada seorang gadis, gadis dengan kerudung hijau lumut menutupi kepalanya, gadis itu berjalan ke beranda menyibakkan tabir rembulan, dan sekilas tampak wajahnya kilau permata bibir ranum buah delima merah cahaya. Sinar rembulan menitik menyiram tubuh rupawan mandi rembulan. Dada putih itu, dada putih angsa jelita, gemulai bulu-bulu sutra gerak lampai menari turun menari ke tepi kolam, berkilau air tenang bunga teratai melambai. Kuntum-kuntum berseri kelopak bunga merekah dalam rangkuman pawana. Sang gadis bercermin dalam air bening jernih, seulas senyum mengembang dari bibir rupawan mengagumi keelokan diri sendiri. Dan rembulan menitik, terus menitik jadi hujan mengusik keheningan kolam buyarkan lamunan di balik mimpi itik buruk rupa yang ingin menjelma jadi angsa jelita. Dan tangan-tangan misteri terulur dari permukaan kolam yang beriak, menarik tubuh gadis itu perlahan masuk ke dalam kolam yang dingin…
Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, hangat sinar matahari semburat menerobos kisi-kisi jendela, Odori semakin resah karena Miyako belum juga terjaga dari tidurnya, dan Odori pun menghampiri tepi pembaringan dan menatap wajah Miyako dalam-dalam, wajah adik kecilnya yang cantik. Miyako yang selalu manis dan baik hati, Miyako yang selalu membuatnya merasa iri dengan segala kelebihannya. Wajah itu tampak begitu tenang begitu damai seolah tiada satu noda pun dapat mencemarinya, dan ia merasa berdosa harus mengusik mimpinya, tapi sudah lebih 17 jam adiknya pulas tertidur, dan itu bukanlah suatu hal yang wajar. Odori menjadi gelisah tapi ia tak tahu apa yang harus dilakukannya karena itu ia duduk saja di tepi pembaringan sambil menatap wajah Miyako yang menyunggingkan senyum lembutnya nan cantik.

***
Sebuah pintu tiba-tiba terbuka dan di depanku terhampar sebuah panorama yang teramat indah, taman-taman bunga, hamparan pasir putih dan bebatuan, danau yang kemilau, bukit-bukit hijau, gemercik air sungai mengalir dari arah lembah dan gunung-gunung di kejauhan. Di tengah taman yang mempesona itu duduklah seorang gadis yang amat elok parasnya. Ia adalah sang penafsir mimpi, berkelebatnya peristiwa di luar realitas sehari-hari. Ia adalah penterjemah gerak kupu-kupu, lambaian bunga embun dan rumput hujan di padang, di mana angin luruhkan dedaunan. Keheningan adalah bahasa ibunya, kesenyapan adalah isyarat kehadirannya. Ia berenang bersama samudra ikan, dan terbang tinggi mengiringi awan berarak.
Matahari adalah bapaknya, bulan adalah ibunya, dan bumi adalah tempatnya bermain. aku dapat melihatnya sedang mengenakan gaun dari tetesan air hujan, dan hamparan salju menjadi mantel kebesarannya. Oleh karena gembira hatinya, maka ia sematkan bunga musim semi sebagai penghias rambutnya, dan ranum pipinya tampak semakin berseri dalam warna merah muda.
Dialah pemilik semua petunjuk, segala silang pendapat yang telah lewat, kepastian yang sejenak berhenti, atau pun keraguan yang berlari bersama angin ke tempat yang jauh. Ia berdetak bersama jantung kehidupan. Jejak langkahnya adalah derap kaki kuda yang tertera di pasir putih, sedang air matanya adalah kesejukan di mana segala luka disembuhkan, dan ia tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku seolah mengajakku bermain, aku tak pernah merasakan kebahagiaan seperti saat ini …
Miyako tersenyum dalam tidurnya seolah rangkaian peristiwa demi peristiwa itu telah menjadi demikian jelas dalam mimpinya, dan ia pun berlari mengejar sang penafsir mimpi seperti segala sesuatunya menjadi begitu nyata, seolah mimpi itu telah menjadi hidup dalam dirinya, dan membawanya masuk semakin jauh ke dalam dunia yang selama ini tak pernah ia kenal sebelumnya. Tanpa Miyako sadari tubuhnya perlahan terbungkus oleh selimut kabut yang kian lama kian menebal dan membuatnya makin jauh tersesat dalam labirin mimpi hingga ia tak dapat lagi menemukan jalan untuk kembali.

April 2004

Catatan:
- Nama Miyako dan Odori saya comot begitu saja tanpa ada maksud tertentu dari ‘Miyako Odori’ sebuah nama tarian musim semi untuk memperingati kepindahan ibukota Jepang dari Kyoto ke Tokyo tahun 1872



Pendakian Terakhir

Kutatap wajahmu dalam foto yang tak pernah lepas dari dompetku, foto yang kian lusuh terlipat kepedihan, waktu yang menyimpan bening matamu seperti mengguratkan puisi pada hari-hari yang melaju begitu kencang ke penghujung usiamu. Sedang kau masih saja menyimpan misteri di balik senyummu yang guratkan kesedihan, kesedihan benarkah? Bukankah masih kau ingat perjalanan kita menyusuri lereng Lawu, Semeru dan Pangrango? dan percakapan senyap yang senantiasa mewarnai kerinduan hati kita mengoyak malam buta dan dinginnya embun yang menggigilkan daun-daun cemara.
Tentu saja Pram, masih kuingat setiap detail percakapan kita, detail yang membuat perasaan itu mengeras seperti kristal embun yang bening bergulir dari ujung rerumputan dan jatuh ke tanah tempat berseminya semua benih yang engkau taburkan. “Apakah kau sudah capai Lan? Biar kubawa ranselmu…aku masih bisa membawanya kalau kau lelah…mungkin kau mau kita istirahat dulu di sini?” dan bening embun itu begitu teduh membuatku kian terlena, aku ingin berlama-lama berenang di dalamnya, jangan buat aku terjaga Tuhan, kumohon jangan!
Ah Pram, kau begitu penuh perhatian, selalu…tak hirau bebanmu sendiri sedang aku sibuk menata hatiku dari butir-butir keringat yang tak henti mengucur. Dan kita terus saja berjalan, mengarungi pasir Parang Tritis, batu-batu kerikil di Tanah Lot, dan merendam kaki di Danau Toba. Oh Pram tahukah kau, sebenarnya aku ingin kita bisa berjalan lebih jauh lagi, sejauh keinginanku merekam semua peristiwa yang sanggup menyimpan kesenduan musim, menuai potret cuaca yang kadang terik kadang hujan dan juga memetik kilau senja yang tak akan pernah kulupa. Dalam ranselku masih juga kusimpan sketsa-sketsa perjalanan kita, juga larik-larik puisimu yang tak hentinya menggugat pertalian takdir, dan foto hitam putih yang kian kabur menyisakan setitik harap dan tentu saja goresan kontemu yang selalu membuatku terharu. Tapi tak kujumpai kau di sana Pram, cuma tinggal foto lusuh ini saja yang masih simpan kepedihanmu. Sekalipun kau tersenyum dalam foto itu, sekalipun matamu masih cemerlang seperti bintang-bintang di surga, tapi semua kilasan itu tak mampu mengusir gundahku. Ah kenapa tak ada foto kita berdua? kenapa hanya ada gambar diriku melulu… sedang kau jauh sembunyi, ataukah karena aku tak bisa menggambar sepertimu, juga karena kau tak pernah mau kuabadikan, “Nggaklah Lan, aku kan jelek…ntar fotonya nggak jadi!”
Kau tertawa, tak kusangka tawa itu jadi terasa begitu pedih sekarang. Sungguh aku kecewa Pram, padahal kau begitu tampan dengan syal abu-abu itu, jaket jeansmu yang belel dan lakenmu yang kumal selalu menyimpan pesonanya sendiri. Semua yang tak dapat kulupa mengapa jadi terasa begitu pedih? semua hanya hidup dalam ingatan yang rapuh. Dan renungku mengapung ke dalam belantara Cemoro Sewu, tanah lembab yang menyimpan seribu gundahmu, seorang kekasih di kedalaman rimba …oho cinta yang purba, perjalananmu yang terakhir…. Apakah harus aku percaya kata orang-orang tua agar kita tak pernah mampir ke Telogo Wurung? agar semua berjalan seperti yang kita inginkan, agar pertalian takdir kita tak kandas di tengah jalan.
Ah Pram, seandainya saja bisa kurekam semua peristiwa…seandainya saja kugenggam sang waktu, Biarlah semua berjalan mundur, berjalan seperti kita tak pernah berhenti, mungkin kita masih akan sempat mengarungi Atlantik, menjelajah Sahara atau mendaki Everest, mungkin saja…mungkin takdir akan berjalan ke arah yang berbeda bila saja aku bukan Mei Lan dan kau bukan Pramudji, bila aku bukan Cina dan kau bukan Jawa, aku bukan Budhis dan kau bukan Muslim, dan sederet pertentangan lain diantara kita, tapi bukankah cinta tak pernah membelenggu seperti katamu? Aku jadi teringat puisimu Pram, bagaimana aku akan melupakannya?
Jangan tinggal tanya, Gabak hati gabaklah mata ada sangsi di diri ada tanya di benak akankah aku menjadi kafir karena menggugat takdir?
Ah Pram, sudah sejauh itukah perasaanmu padaku, sedang debar-debar haru itu masih membuatku tergugu, sedang kau pun tak sungguh-sungguh berani menggenggam tanganku, padahal aku selalu menunggu. Cintamu begitu murnikah? Ataukah itu merupakan sebuah pertanda darimu seperti yang penah kau nyatakan bahwa aku tak lebih dari boneka kristal yang begitu rentan… oh Pram, benarkah? ataukah kau masih ragu dengan degup rasa di dadamu sendiri? tak bisakah kau membuatnya mengalir seperti aliran tintamu, atau mungkin juga dalam bait-bait puisimu yang lain?
Ada jurang di antara kita, tidak juga cinta menjembataninya, baiklah kita terjun saja dan mati bersatu di dasarnya!
Apakah engkau bersunguh-sungguh Pram? Apakah engkau akan membawaku tenggelam ke tengah heningnya Telaga Sarangan? Ataukah kau ingin mengajakku mati bersatu di dasar jurangmu? sedang setiap perhentian seperti bayangan kabur, aku berdiri sendiri di tepi sini di tubir waktu yang menggigil sedang engkau dalam balutan kabut di tepian yang lain, sekian jarak diantara kita tanpa satu pun jalan penghubung. Benarkah Pram, akan kau jemput aku di dasar lembah, atau barangkali tak pernah ada titik pertemuan itu sehingga kita mesti mati sendiri-sendiri sebagai satu-satunya pilihan kita yang terakhir?
Oh Pram, engkau membuatku takut tapi sungguhkah semua rasamu jadi begitu naif seperti tertulis dalam puisimu terakhir? sedang semua perjalanan kita masih juga menyisakan sekian banyak tanda tanya, sedang aku masih terbuai oleh seluruh bujuk rayumu, menafsiri arti seluruh tatap matamu sebagai sebuah ungkapan cinta, sedang ternyata hatiku sia-sia menanti? Oh Pram jujurlah padaku, apakah kerinduanmu padaku hanya serupa pohon-pohon ranggas, kayu-kayu lapuk, tanah-tanah rengkah sepanjang Surakarta – Wonogiri, yang kita lewati menjelang kemarau tempo hari? Debu yang sesakkan batinmu, bukankah masih ada adikmu di sana menunggu kita membawakan oleh-oleh, sekotak gundu, dan sepasang layang-layang, juga emakmu simpan kerinduan yang sama dari basahnya kain jarik yang merebak di pagi dini hari, sepanjang perjalanan turun ke belik, mandi angin basah yang sebarkan aroma sabun murah, hingga siang menjelang di alun-alun depan SD Pangkah tempat bocah-bocah cilik bertempik sorak kibaskan debu angin kering yang hembuskan wangi daun jati. Di situ Pram, saat senja merona angin riapkan rambutku dan di beranda di belakang rumahmu kau masih sempat membisikkan kata-kata yang tak akan pernah kulupa, “Lan..aku cinta padamu!”
Tapi Pram apalah arti cinta bagi kita sedang Ibumu masih saja menyimpan kemarahan di matanya dan bahkan Bapakmu engan pula menyapa, hanya karena aku Cina? Pram jawablah…mengapa kau tak punya kata-kata? Seucap saja untuk membasuh pedihku, sedang kuturut engkau untuk menabur kesia-siaan jauh hingga batas perjalanan ke desamu yang gagu dan yang kutemui hanyalah tunggul-tunggul pisang yang kering melepuh, bunga-bunga tebu meranggas, dan batu-batu tajam menampar hatiku. Apa yang harus kulakukan Pram dalam kesesakan semacam itu? bukankah aku cuma seorang gadis yang ingin di cintai? bukan sebagai siapa-siapa selain sebagai diriku sendiri, dengan mata sipitku, dengan kulit kuningku dan mungkin juga dengan suara cadelku di telingamu. Apakah aku terlalu berlebihan Pram? Bukankah aku adalah Mei Lan yang selama ini engkau kenal?
Sedang aku akan mati-matian mempertahankan engkau dihadapan Papa sekalipun mungkin ia segarang harimau, juga dari tikam tajam mata Mama sekalipun tatapnya setajam sembilu di hatimu, apa pun yang bakal terjadi aku akan membuat mereka mengerti bahwa engkaulah Pram-ku, kekasih hatiku seorang. Seandainya saja…ya seandainya saja engkau berani Pram, tapi engkau keburu pergi dengan sangsimu, dengan sepimu, dengan segala pedih dan kekecewaan di matamu seolah tiada lagi yang harus kita perjuangkan, seolah Lawu lebih berarti bagimu daripada cintaku padamu, seolah semua perjalanan yang telah kita tempuh itu hanyalah sebuah kesia-siaan. Kenapa Pram? kenapa kau pergi begitu saja? seperti kau lupa mengajakku tenggelam, seperti kau lupa mengajakku terjun ke dalam jurang kekelaman, mengapa kau memilih pergi sendiri? Oh Pram, haruskah aku menangis, ataukah mesti bersyukur? karena rupanya takdir telah mengalahkan kita, mengalahkan cinta kita, bila memang ada cinta di antara kita.
Oh Pram kemana lagi aku mesti bertanya sedang kau masih menyimpan semua misteri itu sendiri dalam kepedihan senyummu, tinggal ini satu-satunya yang tersisa dari dirimu sebuah foto wajahmu yang akan segera usang, sedang hatiku demikian rapuh digerogoti sepi. Sesepi itukah engkau di situ dalam pembaringanmu yang gelap? Apakah engkau masih memikirkan diriku seperti aku tak henti merindukanmu? Oh Pram, kenapa mesti seperti ini? Kenapa harus kau akhiri hidup seperti ini.?
***
Langit semburat merah, senja memagut kelam sebentar lagi. Mei Hwa dengan lembut menarik tubuh kakaknya yang terbaring di tanah memeluk makam Pramudji kekasihnya yang meninggal oleh kecelakaan dalam pendakiannya yang terakhir di lereng Lawu. Mereka berjalan perlahan pergi meninggalkan komplek pemakaman yang sebentar kemudian telah menjadi gelap.
Kuningan, Mei 2004

Pulang

Terbilang hati resah pada lautan pasir ini, menghitung kerikil dan batu yang lekas jadi tua, sepanjang bayang bunga tebu dan jantung pisang luruh berjatuhan hingga jauh ke dalam lubuk perigi kampungku yang kian renta, masih juga kepapaanmu membekas seolah engkau tak pernah jua tersentuh peradaban. Setelah sekian lama... ya sekian tahun kau kutinggalkan, masih juga wajahmu tak banyak berubah, jalan batu berdebu itu, huma-huma yang lengang, bocah bermain di sepanjang pematang, kerbau berkubang dan bau kemalasan yang tak kunjung berubah, nyaris…serupa panorama 10 tahun yang lalu saat engkau kutinggalkan.
Hanya tiang-tiang listrik dan roda-roda angkutan pedesaan yang lewat sajalah yang mencairkan kebekuan wajahmu, roda-roda yang menghembuskan debu dan asap hitam knalpot sepanjang jalan yang kulalui, meninggalkan kepedihan yang sarat, tumpat padat dalam dadaku sampai tak kuasa aku menahannya pecah dalam serpihan isak tertahan. Bagaimana harus kulukiskan perasaan ini sedang yang tersisa cuma rasa sakit yang dalam, rasa sakit yang mencabik-cabik hingga membekas pada seluruh ingatan, kenanganku atas kampung emak di punggung perbukitan gundul ini. Kukenal setiap jengkal tanah berbatu dan setiap lobang-lobang kubangan kerbau, bau kotoran yang memenuhi udara sepanjang pematang, dan batang-batang kayu yang meranggas. Aku ingin menangis, menangis seperti aku tak pernah menangis sebelumnya, seperti ketika pertama kali semua pemandangan ini kutinggalkan bertahun-tahun yang lalu.
Aku masih ingin menangis seperti aku menangis ketika bapak mengusirku dari desa terpencil ini, dari rumah masa kecilku, dan semua peristiwa menjadi begitu jelas terbayang di pelupuk mataku. Setelah sekian lama, akhirnya aku pulang… oh Emak, ini aku anakmu, anakmu yang hilang pulang ke haribaanmu, duhai Emakku bagaimana gerangan dirimu sekarang? Adakah engkau selalu terkenang akan anakmu ini? anak durhaka yang memaksa diri pergi memperturutkan keinginannya. Duh Emak, ampuni aku, betapa pun aku tak akan kuasa memandang wajahmu, betapapun aku tak layak bersujud di bawah kakimu, tapi rinduku seakan bisul yang tak dapat kutanggungkan lagi. Ampuni aku Emak…ampuni aku. Kuseka air yang menetes dari mataku yang perih, ada terselip perasaan gundah sekalipun aku tahu anak istriku sepenuhnya memahami apa yang tengah aku rasakan, seperti perasan yang dapat kutangkap dari pandangan wajah mereka yang penuh rasa simpati, karena mereka tahu sudah sekian lama aku tak pernah pulang ke rumah emakku.
Seharusnya waktu mengajarku mengerti atau setidaknya menjadikan diriku lebih bijaksana, tapi waktu sepertinya mengaburkan semua ingatanku dan mungkin juga waktu tak mampu merubah diriku. Kini tiba-tiba semua kilasan peristiwa yang membawa kepergianku kembali jelas terbayang, semua hal yang selama ini ingin kulupakan namun akhirnya membawaku kembali juga ke dusun ini, dengan segala gejolak perasaan, dada dipenuhi rasa gentar yang tak juga sanggup aku tepiskan. Apa yang sudah jadi pergunjingan orang selama ini? Harus kuhadapi semua tudingan mereka yang menganggapku sebagai anak tak tahu diri, melupakan nasib bapak dan emak yang penuh petaka, mengais-ngais tanah rengkah demi mencari umbi ketela yang terkubur begitu dalam dan perbukitan kapur di atas sana mengirimkan dukanya runtuh sekeping demi sekeping.
Selama ini memang tak pernah tersirat dalam benakku, nasib emak yang berasa sendiri saja menunggui laki-laki tua itu, melupakan umur dan anaknya sulung yang jauh pergi merantau. Hidup tinggal kesiaan jadi begitu leta, bagaikan sayur yang hambar dari kacang dan buncis sudah lama tak lagi tumbuh di pekarangan tanah rengkah. Barangkali juga sudah lama tak ada pendiangan di dapur belakang rumah dan panci aluminium itu makin keropos oleh noda karat. Juga pembaringan kayu yang dulu jadi tempat aku dan adikku bermain kala masa kanak-kanak telah jadi demikian rapuh menahan tubuh bapak dan emak yang semakin kering oleh udara demikian gerah. Barangkali benar sudah terlalu lama kulupakan satu-satunya sumur di belakang rumah yang makin kerontang oleh lautan pasir, penuh berisi kerikil dan batu kapur mengubur bayangan emak yang surut perlahan dari sisa-sisa kenangan yang ditelan rakusnya mulut sang waktu.
Semua itu terjadi hanya karena aku sudah jemu pada omongan bapak seolah hasratku hanya dipenuhi oleh gebyar tontonan televisi dibalai desa, dan riuhnya suara radio yang memperdengarkan asyiknya irama dangdut. Sedang segala kemajuan teknologi dan informasi yang kubaca dari potongan koran yang kuperoleh dari guruku di sekolah menengah sudah semakin jauh meninggalkan kampung kami yang terbelakang. Ini zaman hand phone multi color, high speed internet dan pesawat Columbia bolak-balik ke bulan, tapi Bapakku masih saja sibuk dengan tanah rengkah, batang-batang ketela, kerbau, perkutut, bunyi jengkerik tiap malam dan satu-satunya teknologi yang kami miliki cuma radio transistor 1 band melantunkan Pangkur dan Dandanggula, tak ada Heavy Metal, Swing atau Jazz. Bapak tak kenal telephone, yang ia tahu cuma corong langgar satu arah menggemakan takbir dan panggilan sholat. Aku jemu dan pergi…persis seperti yang ia minta.
Potret bapakku memang sudah lama usang dan basi, tenggelam dalam bayang kelabu kampungku, tegalan kering, pohon meranggas, debu dari jalanan berbatu yang kutinggalkan 10 tahun yang lalu. Betul sekarang listrik sudah menyala, jalanan dari kecamatan sampai gerbang dusun sudah mulai beraspal, dan mungkin saja emak tak perlu menempuh 5 Km hanya untuk mengambil seember air bersih bila sumur kami kekeringan. Aku sungguh-sungguh merindukan ibu dan 4 orang adikku, tapi aku tak tahu apakah mereka akan menerima kepulanganku setelah sekian lama aku pergi tanpa berkabar berita.
Pikiranku menerawang, seandainya saja aku tak memutuskan pulang hari ini maka mereka mungkin tak akan pernah tahu kalau aku juga sudah jadi ‘orang’ seperti yang mereka inginkan. Takdir yang membawaku ke ibukota, membuatku terbiasa dengan asap bus kota dan bau keringat tengah hari, pergumulan nasib yang akhirnya membuatku berhasil memiliki dua buah kios di pasar induk. Namun kadang-kadang kerinduan itu merasuk diriku dan setiap kali hasrat pulang itu datang aku selalu menunda demi harga diri yang sudah terlanjur terluka. Sekalipun anak istriku telah lama mendesak, mereka ingin bertemu juga dengan bapak dan emakku, tapi aku selalu menemukan jawaban untuk mengelak. Tidak tahun kemarin dan entah pula lebaran tahun ini? Selalu kubilang pada anak istriku kalau aku tak pernah lupa mengirimkan wesel kepada emak dan juga selembar cerita bahwa Monas makin megah, Taman Mini tak kehilangan serinya, juga tidak nampak lagi sisa banjir tahun lalu, tapi sesungguhnya semua itu hanya rekaanku semata untuk menepiskan kegalauan hatiku. Pikiran yang sama pulalah yang selama ini berkecamuk dalam diriku, apakah suatu waktu nanti aku sanggup membuat bapak mengerti, bahwa sudah dua orang anakku sekarang, mereka ingin juga menengok kakeknya bukan cuma sekedar di dalam mimpi. Betapa aku ingin pulang ke rumah bapak, tapi entah kapan? apakah harus kutunggu bapak menjadi tua dan pikun, lupa pernah mengusir aku dari rumahnya?

***
Ada deru yang meninggalkan kampungku, iringan orang-orang berjalan sepanjang arah kepemakaman menyisakan debu yang melekat di ujung rerumputan. Jalanan jadi lengang, angin pun enggan berbisik, dan aku seperti menangkap sebuah isyarat ada sesuatu yang telah terjadi. Iring-iringan orang yang sepertinya aku kenal, beberapa orang tetangga dari masa kecilku.
Sumardi, ya itu pasti Sumardi teman sepermainanku dulu. Maka kupinggirkan mobil dan bergegas kubuka pintu, “Di, Mardi..!” teriakku.
Laki-laki setengah baya berpeci hitam dan berbaju abu-abu sedikit lusuh itu segera memalingkan muka dan berjalan meninggalkan iring-iringan menghampiriku, ada tanda tanya dalam wajahnya. Aku segera menyambut dan menyalami tangannya yang dingin.
“Di…ini aku Parmin, lupakah kau padaku?” kataku dengan antusias.
Sejenak wajah itu ternganga mencoba menemukan isyarat dari masa lalunya.
“Oh masya Allah Min …” kata-kata itu terputus di tenggorokan Mardi karena ia buru-buru memeluk diriku tanpa berkata-kata. Aku kaget dengan sikapnya yang demikian, tapi setelah sekian masa tak bersua barangkali ia merasakan kerinduan yang sama seperti yang kurasakan juga. Sesaat kemudian Mardi melepaskan pelukannya.
“Min, …untung kamu bisa pulang.”
Kulihat mata Mardi berkaca-kaca, seperti ada perasaan galau yang dipendamnya dan enggan untuk disampaikannya padaku.
“Ya Di, aku juga bersyukur bisa pulang sekarang.”
“Berarti kamu sudah terima kabar dari Peno adikmu?”
“Kabar? Kabar apa Di?” aku kebingungan
Sejenak Mardi terdiam sebelum akhirnya dikatakannya juga, “Kabar kalau emakmu sudah berpulang ke rahmatullah?”
Pandanganku tiba-tiba nanar, dan aku nyaris terjatuh untung Mardi buru-buru menyangga tubuhku yang limbung.
“Oh Di… benarkah yang kau katakan itu… aku tak tahu… kapan emakku meninggal?” kataku terbata
“Semalam Min, kami sudah kuatir kau tidak bisa pulang karena baru tadi pagi Peno mengirim telegram ke Jakarta.”
“Jadi….”
“Ya itu iringan jenazah emakmu yang akan dikuburkan.”
Mulutku tercekat, ada ngilu yang menyesak di dalam dada menjelma isak yang tertahan di tenggorokan. Tapi aku mencoba menguatkan diri untuk tidak menangis hanya untuk menyembunyikan kepedihan hatiku.
Apakah aku telah menangkap semua isyarat akan kejadian ini? Dalam perjalanan semalam tak kulihat wajah rembulan yang mulai tua dan bintang pun enggan menampakkan wajahnya, juga atas sikap bapak yang bahkan tak mau menemui istri dan anak-anakku. Semua terjadi di luar apa yang dapat aku bayangkan. Ternyata kemarahan bapak tak pernah sirna, dan kematian ibu semakin mengukuhkan kebenciannya padaku. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku katakan pada istri dan anakku yang kebingungan dan isyarat demi isyarat menjadi sebuah gambaran yang semakin kabur dalam pandangku.
Kususuri jalan ke rumah dengan penuh perasaan bimbang dan tampak rumah masa kecilku yang sudah mulai condong ke Barat, juga pekarangan yang lengang, tegalan dan sumur kering di belakang rumah. Pohon-pohon kelapa di depan rumah tak nampak satu pun berbuah. Mungkin emak sudah terlampau lama menunggu kepulanganku dan ia tak bisa menunggu lebih lama lagi.
Maafkan aku Mak…hatimu telah tercuri, bagai cadar embun yang menguap saat mentari tiba, telah lama tak kukecapi garammu dan kini telah jadi demikian hambar di lidahku. Engkau kini tinggal jadi sengatan seribu ingatan pada tubuh anakmu lanang ini. Semua sudah demikan terlambat, waktu yang tak mau lagi berpihak pada kekerasan hatiku dan aku cuma bisa bersimpuh di pembaringanmu terakhir sebagai anak durhaka yang belum sempat memohon ampunan. Aku hanya bisa menangisi kepapaan diriku didera sejuta sesal karena mengabaikan semua isyarat kerinduanku kepada emak selama ini.
Emak telah kehilangan hari-harinya dan demikian juga aku. Apakah aku akan jadi lebih mengerti tentang arti sebuah mimpi? Burung tekukur yang menyanyikan lagu duka di pucuk pepohonan kering, di antara nisan dan bunga kamboja yang berguguran? Kuburan emak jadi tempat yang begitu asing bagi jiwaku yang kesepian, sedang kubur emak hanyalah seonggok tanah yang telah sepi pula dari kenangan.
Emak, engkau jadi begitu dingin, simpan luka-luka dalam hatimu aku tahu kau sedih dan kecewa, tapi dengan apalagi dapat kutebus dosaku? Tak ada sesuatu pun yang telah kulakukan yang mampu membuat engkau bahagia, akulah anak durhaka yang menyebabkan kematianmu, tapi aku akan terus merindukanmu seperti kampung kita merindukan hujan.
Kuambil sejumput tanah dari kuburan emak dan kubungkus dengan saputanganku lalu kumasukkan dalam saku celanaku. Hari ini kutangisi kepergianmu emak, tapi pergilah dengan tenang, karena aku tahu di sanalah rumahmu abadi di mana tak akan kau temui lagi segala kepedihan.

April 2004









Idiot

Bau busuk got mampat memenuhi udara, seperti hendak menumpahkan kekesalan pada dinding setengah papan setengah gedek rumah sederhana berukuran empat kali lima meter persegi milik Partiyem. Seperangkat perabot murah tampak di dalam rumah itu, bale-bale bambu reyot, sebuah bupet kayu mahoni kusam peninggalan mertuanya dan kompor berkarat yang catnya sudah mengelupas di sana-sini dan jerigen plastik warna putih berisi minyak tanah yang tinggal terisi setengah terletak di pojok ruangan dekat pintu triplek bobrok ke arah kamar mandi.
Di ruang belakang yang berfungsi sebagai dapur terdapat meja makan kecil dari kayu bekas kotak sabun tempat segala macam perlengkapan diletakkan, piring-piring kaleng dan gelas kotor, rantang sayur yang tinggal berisi kuahnya yang bening, kendi tanah liat, dan bakul nasi yang kosong berkerak. Di tengah ruangan terhidang sepiring getuk di atas meja dari papan kayu kas reyot yang hampir somplak dan di belakang ruang duduk yang sempit itu terdapat bilik papan yang tertutup kain korden kumal warna hijau yang berbau apak. Dalam bilik sempit itu menjuntai dua pasang kaki di atas dipan kayu yang mulai lapuk termakan usia, dua orang anak Partiyem, Oni 12 tahun dan adiknya Oon 10 tahun masih lelap tertidur.
Partiyem masuk ke dalam rumahnya setelah pulang berbelanja dari pasar subuh tadi, dan meletakkan sekeranjang sayuran yang hendak dijajakannya kembali di kompleks perumahan di seberang kampungnya. Kacang, bayam, buncis, kol, cabe ia pisah-pisahkan dalam tas kresek tipis warna biru, ia pindahkan kangkung yang sedikit layu dan 3 bungkal kol di tumpukan terbawah bersama bungkusan tahu taqwa dalam plastik berisi air berwarna keputih-putihan, beberapa potong tempe dibungkus daun pisang, ikan pindang, 3 ekor ayam potong, pisang dan pepaya ia biarkan berantakan di atas ubin abu-abu yang retak dan berlobang di sana-sini. Partiyem mengambil gelas dan menuang air putih dingin dari dalam kendi dan meminumnya dengan bernafsu, ia lalu membawa piring-piring dan gelas kotor, rantang sayur dan bakul nasi bekas semalam ke ruang kecil di belakang rumah yang berfungsi sebagai kamar mandi, kakus dan tempat cuci sekaligus. Piring, dan gelas yang telah ia cuci bersih ia masukkan ke dalam baskom dan diletakkannya di atas meja kayu bekas kotak sabun.
“Oniiiii! Bangun! Sudah hampir setengah enam sudah waktunya Mak jalan, Oniiii….di mana kupingmu…..dasar budeg!” Partiyem menyingkap gorden dan menatap gusar anak-anaknya yang masih tergolek malas
“Cepetan… sudah siang! Mak bisa kehilangan pelanggan, bocah tolol!” Partiyem sudah tak sabar mencubit paha Oni anaknya yang sulung.
“Aduh…aduh Mak, sakit!” seru Oni sambil meringis.
“Cepetan bego! Bangunkan Oon dan mandikan adikmu segera…Mak harus segera pergi!”
Oni memasang wajah masam memukul punggung adiknya,“Bangun On! Bangunnn…! cepetan ntar diomelin mak lagi…mau kupukul kamu?” kata Oni geram
Oon membuka matanya ketakutan wajahnya berubah memelas seperti mau menangis, “Cepetan turunnya, kayak keong saja!” Oni menggeret tangan adiknya turun dari dipan dan menarik tangan adiknya dengan kasar ke kamar mandi.
Partiyem sibuk memindahkan sayuran dan barang dagangannya yang lain ke dalam gerobak di depan rumah, gerobak itu peninggalan Parno almarhum suaminya, setelah Parno mati kena demam berdarah gerobak sayur itulah penyokong hidup mereka sehari-hari.
“Oni! Mak pergi…jaga adikmu ya, awas kamu jangan main-main dekat rel kereta lagi! Oniii …kamu dengar kata Mak? seru Partiyem keras.
“Ya ….ya Mak! Pergilah!” jawab Oni kesal sambil mengguyur kepala Oon adiknya yang idiot dengan segayung air dingin.
Gang sempit bau busuk sudah terang tanah, lampu-lampu petromaks sudah dimatikan, orang-orang mulai ramai berlalu lalang. Langit cerah bulan Juni mulai dikotori asap pabrik di seberang Kali Ose. Raungan motor dan deram mobil mulai memenuhi telinga menyemprotkan asap hitam. Partiyem berjalan mendorong gerobak ke arah kompleks perumahan di seberang kampungnya sambil berteriak-teriak, ”Sayuuuuur…..sayuuuuur!”

***
Oni berpikir keras, setelah rencana yang gagal ia laksanakan beberapa hari yang lalu, masih ia rasakan sakitnya pukulan rotan penggebuk kasur itu di pantat dan kakinya, dan kepedihan itu membekas begitu dalam dihatinya….semua gara-gara Pak Bagong penjaga palang kereta api itu yang menggagalkan rencana yang telah ia susun baik-baik, rencana untuk melenyapkan Oon selama-lamanya. Oon adiknya yang idiot ini yang telah meracuni hidupnya merampas semua kebahagiaanya, yang membuatnya tak dapat lagi mengecap bangku sekolah seperti teman sepermainannya yang lain. Setelah bapak mati dan maknya harus membanting tulang menanggung hidup mereka Oon harus menjadi tangunggjawabnya sepenuhnya. Ia terpaksa putus sekolah di samping karena emaknya memang tak cukup mampu dan adiknya yang idiot ini tak ada yang bisa menjaga, begitulah kemana pun ia pergi Oon mesti ikut serta.
Kebencian Oni pada adiknya semakin menyala-nyala terutama karena maknya tampak lebih mengutamakan kepentingan adiknya daripada dirinya, seolah Oon memperoleh semua perhatian dan kasih sayang ibunya. Tak pernah sekali pun Oon kena marah apalagi kena pukul, padahal adiknya itu gobloknya setengah mati. Rasa cemburu yang menyalakan api dendam kesumat dalam dirinya, dan rencana yang telah ia susun untuk melenyapkan Oon telah gagal total. Di luar perhitungannya nyawa Oon berhasil diselamatkan Pak Bagong, Oni sudah mengatur agar adiknya terjatuh di rel saat kereta api bakal melintas tapi tindak-tanduknya yang mencurigakan tidak terlepas dari pengawasan Pak Bagong yang dengan sigap menarik tubuh Oon dan mengusir mereka keluar dari lintasan. Pak Bagong tetangganya yang berperut tambun itu bahkan telah bocor mulut menceritakan semua upaya Oni yang sia-sia kepada emaknya. Tak ampun 10 kali gebukan di punggung, pantat dan kaki harus ia terima, sampai ia harus menghiba-hiba meminta ampun dan andai saja para tetangga mereka yang melihat peristiwa itu tidak menghentikan pemukulan sudah pasti hancur badan Oni di tangan emaknya.
Beberapa hari ini Oni memutar otaknya lebih keras lagi, ia telah belajar dari kejadian di lintasan kereta api, kali ini ia tak boleh gagal oleh karena itu ia mengatur sebuah rencana lain yang telah diperhitungkannya masak-masak. Ia telah menyuruh adiknya makan getuk kenyang-kenyang sementara ia menyiapkan tali plastik yang dicurinya beberapa waktu lalu dari kios Babah Hong di pasar, mencuri itu adalah salah satu keahliannya yang lain yang ia pelajari diam-diam, beberapa kali ia berhasil mengambil bungkusan rokok atau beberapa butir telur di pasar tanpa ketahuan dengan cara yang sangat trampil. Hasil curian itu ia nikmati diam-diam kala emaknya pergi berjualan keliling, dan untuk rencananya kali ini Oni juga sudah berhasil mencuri beberapa bungkus Chiki snack makanan kecil kesukaan Oon. Setelah menelan beberapa potong getuk ia mengambil perlengkapan yang sudah ia persiapkan dan mengajak Oon pergi ke sungai.
Oon memukul-mukulkan tangannya yang terkepal ke dagu, begitulah ulahnya bila sedang bersenang hati, tak sedikit pun ada prasangka dalam hatinya yang polos, “Heuuu…heeeuuu” celoteh Oon dengan gembiranya sambil berjalan berputar-putar. Tangannya tak henti-henti memukul dagu hingga air liurnya meleleh-leleh. Sikap Oon itu membuat Oni kesal apa lagi melihat air liur Oon yang membasahi bajunya. “Diam kamu…kalau kamu nurut nanti kamu boleh makan ini semua” kata Oni sambil menunjukkan Chiki di tangannya.
“Auuu…auuuu” seru Oon sambil mencoba meraih Chiki di tangan kakaknya tapi Oni sengaja mempermainkan adiknya sehingga tangan Oon cuma berhasil menggapai angin.
“Ayo ikut aku ke sungai sebelah sana nanti di sana kau bisa makan sepuasnya” Oni menarik tangan Oon bergegas, dan mereka pun berlari-lari kecil menyeberangi jalan, berbelok ke arah tanggul dan melewati tanah becek berlumpur sepanjang pematang masuk ke daerah pinggiran Kali Ose. Tidak banyak orang lewat, Kali Ose sudah mulai sepi karena orang sudah pada selesai mandi dan mencuci. Oni menggandeng tangan adiknya ke arah hulu di mana telah diperkirakannya tidak akan ada orang yang akan melihat mereka berdua. Di seberang perkampungan yang berbatasan dengan kebun kosong tak terurus milik pak Haji Ramli Oni berhenti dan melihat keadaan sekitarnya, inilah lokasi yang pas sesuai dengan rencananya tidak akan ada orang lewat sini dan Oni memandang ke arah aliran Kali Ose yang tenang namun ia yakin cukup dalam airnya. Angin berhembus tenang, pohon-pohon bergoyang perlahan rumput pun seolah lelap terbuai indahnya cuaca, tak ada yang menyadari gemuruh dalam dada Oni.
“Oon ayo sini, duduk sini!” kata Oni sambil menarik tangan adiknya. Oon menurut saja, matanya yang bening bekerjap-kerjap tanpa dosa.
“Kamu mau ini?” tanya Oni sambil menyodorkan Chiki di depan wajah si Oon, air liur Oon meleleh seketika matanya berbinar-binar. Ia mengoyang-goyangkan kepalanya sambil tersenyum-senyum
“Tapi kita harus main-main dulu…bagaimana?”
Oon masih menggoyang-goyang kepalanya seolah tak mengerti apa kemauan kakaknya. Oni lalu mengambil tali plastik dari saku celananya dan mengikat bungkusan Chiki itu dengan tali kemudian dilemparkannya bungkusan terikat tali itu ke sungai sehingga terapung-apung mengikuti aliran sungai. Sebentar kemudian ditariknya bungkusan itu dan dilemparkannya lagi ke tengah sungai. Hal itu dilakukannya berulang kali seolah seperti orang yang sedang mengail dan memperoleh seekor ikan yang besar. Oon mulai mengerti dan menyambut gembira permainan baru kakaknya, buru-buru ia mencoba menarik tali itu dari tangan kakaknya. Oni sengaja membiarkan tali itu dan menyerahkannya kepada Oon yang tertawa-tawa dengan girangnya. Ditariknya tali dan bungkusan Chiki itu dan kemudian dilemparkannya lagi ke kali, Oni hanya mengamati saja kelakuan adiknya yang tengah berkonsentrasi penuh pada permainan mengasyikkan itu sehingga kemudian saat adiknya lengah Oni dengan sepenuh tenaga mendorong tubuh adiknya hingga tercebur ke dalam Kali Ose yang menderu.
Oon terkejut setengah mati tak menduga kejadian yang begitu tiba-tiba dan kepalanya hampir kelelap, dengan panik ia menggerakkan tubuhnya tak beraturan gelagapan di dalam air yang bergejolak, air sungai segera memenuhi mulut dan hidungnya, “Haep….haep…” tangan Oon yang kecil itu muncul tenggelam ke permukaan air, ia masih berusaha keras mengangkat tubuhnya, tapi seolah semua usaha itu nyaris sia-sia, sedang Oni diam saja berdiri mematung melihat perjuangan adiknya yang tengah bergelut dengan maut. Namun sesaat kemudian terdengar suara ceburan keras yang membuat Oni sangat terkejut, tak disangkanya ada seseorang yang telah terjun ke sungai mencoba menolong adiknya, perasaan Oni tiba-tiba didera oleh rasa takut yang luar biasa yang membuatnya terkencing di celana, dan cekaman rasa itu membuatnya berlari kesetanan tanpa mempedulikan sekitarnya lagi.
Oni sungguh tak pernah menyangka ada Bang Jupri yang hendak memandikan kerbaunya tiba-tiba melintas dan bereaksi spontan begitu melihat seseorang tercebur nyaris kelelap di kali. Oni sungguh tak menduga untuk kesekian kalinya rencananya bakal gagal rupanya Tuhan punya rencana lain, dan untuk dosanya kali itu sekali lagi ia harus membayar mahal. Setelah hampir seharian mencari Partiyem berhasil menemukan Oni tengah meringkuk di gardu ronda seperti anjing yang ketakutan menyembunyikan ekornya, tak ayal lagi Partiyem menyeret tubuh Oni yang menggigil itu dengan kasar di bawah tatapan puluhan mata penuh tanda tanya.
“Dasar anak jadah sekali lagi kamu mau matiin adikmu ya? Belum puas kamu aku gebuki? Awas kamu berani-berani lagi menyakiti Oon aku kirim kamu ke kantor polisi baru nyahok kamu…biar mampus kamu di bui! dasar anak tak tahu diuntung!.. biar modar kamu nggak aku kasih makan!” teriak Partiyem yang kalap sambil menampari wajah dan memukuli tubuh Oni dengan rotan penggebuk kasur. Oni menangis tersedu meringkuk di pojok ruangan sambil mengusap bibirnya yang berdarah, hancur harapannya hancur juga hatinya, tapi kepedihan itu tidak membuatnya jera justru semakin mengobarkan dendam dan kemarahan di dalam dadanya.
“Tunggu…awas kamu bocah idiot! awas pembalasanku!” rutuk Oni dalam hatinya.

***
Masih terdengar gempita suara massa, kaki-kaki yang berlarian lintang-pukang, atap roboh dan jelaga hitam memenuhi paru-paru perumahan sederhana sepanjang gang yang sempit dan kumuh itu dengan sesaknya rasa perih. Matahari siang yang garang memanggang kecemasan dan Partiyem kalap berlari menuju rumahnya yang terbakar. Api telah menelan kerontangnya seluruh pengharapan, hidup sudah demikian rapuh telah luruh pula dalam tangan-tangan yang melepuh, dan jeritan menyayat membelah hati semua orang di kampung itu hingga berkeping-berkeping. Kaki-kaki panik berlarian menenteng ember plastik, tong-tong berkarat dan robekan terpal penuh oleh teriakan dan air mata. Api berkobar demikian ganas membutakan mata-mata basah dan degup jantung nyaris pecah berjatuhan seperti daun-daun kering gugur ke atas tanah yang hitam oleh debu jelaga.
Api telah menelan jiwa kerontang rumah demi rumah papan dan gedeg itu satu persatu, membakar siang yang tiba-tiba kelam lebih kelam dari malam, menudungi langit dengan pekatnya hawa sang maut, teriakan orang-orang tenggelam dalam kepanikan, teriakan Partiyem tenggelam, semua teriakan telah sama-sama tenggelam oleh kepulan asap, oleh kepungan jelaga yang mengotori wajah dan hati mereka dengan ketidakberdayaan. Sedang dari kejauhan terdengar begitu banyak bunyi-bunyian memenuhi telinga, sirene pemadam kebakaran, teriakan nama-nama, jeritan kayu yang menghitam, dan api pun terbang bersama angin kering merembet jauh hingga ke pasar menyisakan tangisan lapak-lapak rubuh, gemeretak kios-kios hangus, dan rasa geram memenuhi batin karena barang-barang dagangan yang musnah begitu saja!…musnah pula penyambung hidup mereka. Semua jadi mengabur makin lama makin kabur tinggalkan luka hati yang nyeri, yang kian lama kian nyeri, mengubur jiwa mereka menjadi abu.
Orang-orang membuat berbagai pengucapan berbeda atas seluruh kejadian itu dengan bibir-bibir bergetar dan jari-jari menggeletar. Sekali pun mereka mencoba mencari tahu darimana deru api dan asap itu berasal terbawa angin hingga kemana-mana. Langit masih mempertanyakan dan juga sekian banyak orang berkerumun dengan pandangan sedih, pasrah, menangis, marah dan kecewa yang tercampur aduk dan masih juga menaruh sejuta harap pada segala sesuatu yang masih mungkin diselamatkan, tetapi kepedihan itu menggores begitu dalam atas abu panas di tangan mereka, dan kayu-kayu merapuh telah memerah jadi arang menghanguskan hati semua orang yang menangisi korban-korban yang mati. Dan Oon anak Partiyem adalah salah satu diantara para korban, tinggal debu dalam suratan takdirnya terpanggang oleh panasnya bara. “Astaghfirullah!” seru batin semua orang. “Inna li’l-Lah-i wa inna ilay-hi raji’un” doa bibir-bibir pilu bagi bocah kecil yang menemui ajalnya dalam ganasnya kobaran api, dan Partiyem terkapar pingsan.
Namun ada satu hal yang luput dari perhatian orang-orang malang itu, dari kejauhan seorang bocah laki-laki berumur 12 tahun menatap kobaran api yang masih mengganas hingga beberapa saat lamanya sebelum kemudian bocah itu berjalan pergi meninggalkan kampung yang nyaris terbakar habis sambil mengguratkan senyum kemenangan di bibirnya yang terluka.

Kuningan, April 2004